Keindahan Alam dan Ancaman Tambang Nikel di Raja Ampat, Bisakah Integrasi Konservasi Melindunginya?

KoranSumut.id – Papua Barat Daya : Melihat data dari Badan Informasi Geospasial (BIG) tahun 2024, jumlah kepulauan di Indonesia mencapai 17.380 pulau. Terdapat satu pulau yang memiliki permata begitu indah, kilauan biru laut terbentang sepanjang mata melihat, dengan pulau-pulau hijau yang menghiasi sekitarnya. Ada sebuah dunia yang memiliki ribuan spesies ikan dengan hampir 553 terumbu karang di dalamnya. Inilah Raja Ampat, terkenal dengan surga dunia bawah laut dan daratan yang begitu memikat hati seluruh orang di dunia. Sebuah mahakarya yang vital bagi keseimbangan ekosistem global.

Namun, keindahan Raja Ampat memudar karena keegoisan sepihak. Menjadikannya sebuah isu yang menarik dibahas di sebagian meja-meja tongkrongan kota hingga plosok desa. Pembangunan tambang nikel yang terjadi di Raja Ampat menjadi ancaman yang begitu membahayakan ekosistem di salah satu alam paling berharga di Indonesia. Bagaimana jadinya, surga seindah ini berada diujung tanduk? Mungkinkah kita bisa memperbaikinya dengan pengelolaan lanskip darat dan laut terpadu?

Raja Ampat bukan hanya sekedar pulau, ia merupakan sebuah keajaiban yang tidak ada duanya di bumi ini. Para ilmuan sepakat, kawasan ini adalah pusat keanekaragaman hayati laut dunia (Coral Triangle), dengan lebih dari 75 persen spesies karang dunia ditemukan di sini. Bayangkan, dari seluruh jenis terumbu karang yang ada di planet ini, sebagian besar berkumpul di perairan kita. Kekayaan ini juga didukung oleh keberadaan 1.427 spesies ikan, 699 spesies moluska, dan 500 lebih spesies krustasea menjadikannya harta karun yang tidak ternilai.

Daratan yang terbentang di Raja Ampat juga tidak kalah mempesona, dengan penampilan pulau sekelilingnya yang dipenuhi tumbuhan hijau, gugusan karst yang memiliki bentuk unik, hingga pelestarian hutan mangrove di pesisir membuatnya saling terhubung dalam pembentukan sebuah kehidupan.

Contohnya, hutan mangrove yang memiliki fungsi sebagai benteng alam, menyaring sedimen dan polutan dari daratan sebelum sampai ke terumbu karang yang rentan. Ia  juga menjadi habitat penting bagi berbagai biota laut dan darat sekaligus melindungi garis pantai dari abrasi. Keterkaitan erat ini adalah esensi dari Konsep Lanskap dan Bentang Laut (LaS), sebuah wilayah geografis terpadu yang mencakup area dari titik tertinggi di daratan dalam suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) hingga mencapai lepas pantai sejauh 12 mil laut. Ini menegaskan, apapun yang terjadi di darat akan berdampak langsung ke laut, begitupun sebaliknya.

Untuk masyarakat lokal, Raja Ampat adalah segalanya, mulai dari sumber mata pencarian, dan bagian tak terpisahkan dari identitas budaya yang ada. Ekowisata seperti daiving, snorkeling dan wisata baharinya telah berkembang pesat menjadi pilar utama dalam perekonomian.

Data menunjukkan pariwisata Raja Ampat menyumbang pendapatan daerah yang signifikan, mencapai miliaran rupiah per tahun. Ini adalah model pembangunan perekonomian yang cukup ideal dengan pemberdayaan masyarakat serta meningkatkan kesejahteraannya tanpa harus mengorbankan kelestarian alam yang sudah ada. Ini sangat sejalan dengan visi pembangunan ekonomi masterplan dengan mendorong kegiatan yang sejalan dengan pelestarian lingkungan dan berkontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat lokal.

Tapi, dengan adanya pembangunan tambang nikel di Raja Ampat menjadi isu yang sangat sensitive dan banyak mengundang kontroversi luas. terdapat lima perusahaan yang terlibat dalam pembangunan tambang nikel ini, terkhususnya PT Gag Nikel yang beroperasi di Pulau Gag, Raja Ampat yang paling sering menjadi sorotan. Bagaimana bisa aktivitas pertambangan yang begitu merusak diizinkan di daerah keanekaragaman hayati dan laut global serta destinasi wisata dunia?

Kontroversi ini berasal dari fakta bahwa Pulau Gag adalah pulau kecil. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, aktivitas pertambangan dilarang di pulau-pulau kecil. Pulau dengan luas 2.000 km² seperti Pulau Gag, seharusnya menjadi zona terlarang bagi penambangan. Ini adalah payung hukum yang seharusnya melindungi Raja Ampat dari ancaman pertambangan.

Nyatanya semua ini malah terjadi, meskipun ada larangan tegas, PT Gag Nikel tetap mengantongi izin dan terus beroperasi, bahkan setelah empat perusahaan tambang nikel lainnya telah dicabut izinnya oleh pemerintah. Namun, Ada klaim bahwa PT Gag Nikel beroperasi sesuai dengan ketentuan tanpa menimbulkan dampak lingkungan. Hal ini tentunya ditentang oleh aktivis lingkungan seperti Greenpeace dan Walhi, serta para ahli dengan menunjukkan bukti adanya pembukaan lahan serta kekhawatiran akan dampak kerusakan ekosistem. Raja Ampat telah dikukuhkan sebagai geopark dunia oleh UNESCO. Dengan adanya tambang dianggap merusak citra dan statusnya.

Dampak pertambangan nikel di pulau kecil ini sangat mengerikan, kekhawatiran utama yaitu, ketika endapan lumpur dan partikel dari aktivitas tambang seperti material tambang, sedimen, dan logam di bawa oleh aliran air hujan ke sungai, lalu bermuara ke lautan Raja Ampat akan menutupi terumbu karang yang rapuh, menghalangi cahaya matahari untuk fotosintesis alga simbiosis trumbu karang. Pastinya akan membunuh ekosistem.

Ditambah dengan lalu lintas kapal tongkak pengangkut nikel nantinya juga akan meningkatkan kerusakan terumbu karang akibat benturan dan gelombangnya. Ekosistem laut yang sudah terkena dampak, butuh ratusan tahun untuk pulih, bahkan ada yang tidak akan pulih. Seperti yang disuarakan oleh oleh Mongabay yang berjudul, “Tambang Nikel Raja Ampat, Kerusakan Tak Bakal Pulih”.

Ini tidak hanya tentang hilangnya kehidupan seribu ikan dan terumbu karangnya. Namun ancaman terhadap mata pencarian lokal dan pariwisata juga sangat berdampak. Masyarakat Raja Ampat sangat bergantung pada ekowisata dan perikanan berkelanjutan.

Semua dilemma terjadi, antara kekayaan mineral dan keindahan alamnya. Konsep pengelolaan lanskip darat dan laut terpadu (LaS) datang membawa harapan. Ini menjadi pendekatan yang mengakui bahwa daratan dan lautan adalah satu kesatuan ekosistem yang tidak bisa terpisahkan dan harus dikelola secara bersamaan. Seperti yang ditegaskan dalam materi Integrasi Lanskip Darat dan Laut, dimana Integrasi pengelolaan lanskap darat dan laut adalah kunci untuk memastikan keberlanjutan sumber daya alam, mendukung keanekaragaman hayati, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Untuk pengelolahan lanskip darat laut terpadu, melalui berbagai inisiatif seperti Program SOLUSI yang didukung oleh BAPPENAS, BMUV/IKI, GIZ, SNV, CIFOR, World Agroforestry, dan KEHATI, telah menunjukkan komitmen terhadap pendekatan ini. Dengan tujuan utama agar pemangku kepentingan di tingkat nasional dan daerah memasukkan pendekatan ekosistem untuk penghidupan yang memiliki ketahana iklim dalam pengelolaan lahan dan bentang laut (LaS) yang berkelanjutan untuk mendorong transformasi menuju ekonomi hijau (termasuk ekonomi biru).

Untuk Raja Ampat pengelolahan LaS terpadu ini bukan lagi menjadi pilihan, namun keharusan yang sangat mendesak, Seperti:

1. Mencabut semua Izin Usaha Pertambangan (IUP) di pulau kecil seperti Pulau Gag maupun pulau-pulau kecil di Raja Ampat harus terbebas dari aktivitas pertambangan, sesuai dengan undang-undang Nomor 1 tahun 2014 menjadi dasar hukum yang kuat dan harus di laksanakan sepenuhnya. Jika ada Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang bertentang dengan UU ini harus segera di revisi atau dibatalkan, seperti yang yang mengintegrasikan RTR Darat dan Laut dalam satu produk hukum harus diterapkan secara konsisten, seperti konsep “One Spatial Planning Policy”.

Serta semua aktivitas pertambangan di wilayah sensitive harus dievaluasi secara transparan. Harus menindak tegas pelanggaran lingkungan, termasuk penegakan hukum pidana lingkungan ketika ditemukan unsur kerusakan.

2. Membangun kapasitas komprehensif. Kapasitas ini menjadi kemampuan individu, organisasi, dan masyarakat untuk mengelola perubahan. Pengembangan kapasitas merupakan proses membangun, memperkuat, dan menyesuaikan kapasitas secara berkelanjutan yang mencakup semua pihak terkait.

Melalu program seperti Solusi, menawarkan modul pelatihan tentang Masterplan LaS, pembiayaan inovatif dan investasi berdampak, pelatihan lingkungan & sosial (E&S) untuk institusi keuangan, serta topik spesifik seperti ekowisata, konservasi mangrove, dan pengelolaan sampah. Nantinya pelatihan ini mampu menjangkau pemangku kepentingan di tingkat nasional, subnasional, LSM, hingga Universitas.

Tidak kalah penting yaitu, membangun kesadaran dan pelatihan isu kesetaraan Gender dan inklusi social (GESI). Dalam setiap program pengembangan kapasitas maupun bisnis keberlanjutan. Dengan harapan nantinya mampu memastikan semua lapisan masyarakat merasakan manfaatnya secara adil.

3. Melakukan pengembangan ekonomi hijau dan biru yang inklusif. Alih-alih bergantung dengan ekstraksi sumber daya yang rusak. Cobalah untuk merubah fokus pada pengembangan hijau biru berkelanjutan. Ini menjadi penguatan ekowisata, penangkapan ikan dan pembudidayaan yang bertanggungjawab, serta pengembangan produk lokal yang ramah lingkungan.

Pemerintah juga perlu menciptakan inisiatif bisnis dan social serta ekonomi yang menarik bagi investasi hijau biru ini dalam meningkatkan ketangguhan masyarakat melalui ekonomi hijau dan biru. Ini termasuk menciptakan produk keuangan terkait ESG (Environmental, Social, Governance) oleh lembaga keuangan. Target “terwujudnya investasi hijau-biru” dan “terwujudnya 3 bisnis model untuk pengelolaan LaS” harus dikejar dengan serius.

4. Pemberdayaan dan partisipasi aktif masyarakat lokal. Masyarakat lokal, terutama masyarakat adat menjadi penjaga utama dan pemilik dari kearifan lokal. Pendekatan berbasis komunitas yang melibat sertakan dalam proses pengambilan keputusan dan implementasi adalah esensialnya.

Penguatan kelompok masyarakat menjadi upaya aktif yang membangun dan memperkuat kelompok masyarakat yang aktif, serta meningkatkan kesadaran mereka terkait isu-isu yang berdampak pada pengelolaan LaS.

Raja Ampat menjadi cerminan dalam keberlanjutan ekosistem. Perlindungannya menjadi tanggungjawab bersama. Dari Sabang sampai Merauke, dari pegunungan hingga dasar laut, setiap kehidupan alam adalah bagian dari kekayaan yang harus kita jaga. Kasus nikel di Raja Ampat adalah pelajaran berharga bahwa pembangunan ekonomi tidak boleh mengorbankan masa depan ekologis.

Mari kita pastikan bersama surga di ujung timur Indonesia ini terus bersinar sebagai bukti nyata bahwa Indonesia mampu mengelola lanskap darat dan lautnya secara terpadu, berkelanjutan, dan berkeadilan. Masa depan Raja Ampat, dan masa depan lingkungan Indonesia, ada di tangan kita. (Atikah Khairuna)

Pos terkait